Ageboy Blog: http://ageboy.blogspot.com/2012/04/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html#ixzz1toGYf5mk the Chic Sunrise: Selamat Jalan Bang Azis...

Sabtu, 11 Desember 2010

Selamat Jalan Bang Azis...

Kelas satu, Mas Memet adalah penjaga kantin dan sekolahku. Kelas dua, Mas Darwin yang bertugas menggantikan Mas Memet yang ingin mencari pekerjaan baru yang lebih baik. Dan setelah Mas Darwin telah jenuh dengan profesi yang dijalaninya ini, kini Bang Azis yang dengan setia bekerja di SDIT Al-Huda sebagai penjaga sekolah. Kantin sekolah dipegang oleh Mama Nadila, istri dari salah satu pengurus Masjid Al-Huda, Mang Rif’an. Nadila adalah nama anak bungsunya. Maka dari itu, aku dan teman-teman memanggilnya Mama Dila.

Bang Azis adalah seorang pekerja sejati yang tangguh. Ia mengayuh sepedanya dari Rawamangun hingga Kelapa Gading untuk bekerja di sekolah. Dan setiap hari ia melakukan hal itu tanpa keluh kesah. Ia benar-benar semangat dalam bekerja.

Ia adalah sahabat bagiku dan teman-teman. Ia yang setiap hari bersedia menyirami tanaman di halaman sekolah kami, menyapu halaman dan kelas-kelas kami serta mengepelnya. Membersihkan kaca-kaca jendela setiap ruangan di sekolah. Berangkat dengan sepedanya yang telah ringkih menuju tempat fotokopi untuk memperbanyak lembar soal ulangan, rangkuman dan LKS, membantu guru-guru membeli makanan di warteg dekat sekolah, dan sebagainya. Ia rela melakukan itu semua demi sesuap nasi.

Ketika aku kelas 5...

Sudah dua minggu Bang Azis tidak masuk. Biasanya ia yang tiap pagi membukakan pagar sekolah ketika aku telah sampai di sekolah, dan aku menjumpainya saat mengelap kaca jendela kelas. Aku sungguh tidak tahu kabarnya belakangan ini. Pihak sekolah pun mencari penggantinya, yaitu Pak Bani.

Waktu terus berjalan, dua minggu pun menjadi dua bulan. Bang Azis tak kunjung datang ke sekolah. Aku pun menanyakan kabar Bang Azis pada Pak Mahmudi. “Pak, gimana keadaan Bang Azis? Kok udah dua bulan gak masuk? Bang Azis sakit apa, Pak?”

“Pernafasannya agak terganggu saja,” jawab Pak Mahmudi.

“Tapi kalo Cuma gangguan pernafasan, kenapa lama banget sembuhnya?” tanyaku dalam hati.

Aku dan teman-teman belum tahu penyakit apa yang diderita Bang Azis sehingga membuatnya tidak masuk selama berminggu-minggu. Pak Mahmudi selaku kepala sekolah pun tidak tinggal diam. Beliau mencoba menghubungi keluarga Bang Azis untuk mendapatkan kabar tentang Bang Azis. Dan Pak Mahmudi pun memberitahukan kami apa yang telah didengarnya dari keluarga Bang Azis, yaitu Bang Azis sakit keras. Pneumonia akut.

Siangnya, Taura, Syarif, dan Iman meminta solidaritas seluruh siswa-siswi SDIT Al-Huda untuk memberikan bantuan demi kesembuhan Bang Azis. Meskipun kami hanya menyumbangkan seribu—dua ribu rupiah, namun nominal itu sangat berharga untuk membantu pengobatan Bang Azis. Taura, Syarif dan Iman berkeliling dari kelas satu hingga kelas enam untuk mengumpulkan uang. Ternyata, mereka berhasil mendapatkan Rp 200.000,- setelah ditambah oleh guru-guru. Mereka pun menyerahkannya ke Bu Zubaidah, penanggung jawab administrasi sekolah.

Malamnya, aku bermimpi...

Bang Azis datang ke sekolah. Wajah dan tubuhnya penuh memar. Ia meminta izin Pak Mahmudi untuk kembali bekerja. Tapi karena sudah ada Pak Bani, maka Pak Mahmudi secara tidak langsung memberhentikannya dan melarangnya untuk kembali ke sekolah. Dan paginya, aku berangkat ke sekolah seperti biasa, tapi firasatku berpegang pada mimpiku semalam. Aku mengartikan sendiri mimpi itu : Hari ini Bang Azis sudah sembuh, dan kembali bekerja.

Ketika pelajaran agama Islam sedang berlangsung...

Aku tidak fokus memperhatikan penjelasan Pak Ace, guru Agama Islamku. Pikiranku menerawang memikirkan mimpiku tadi malam. Dafiz, adik kelasku pun masuk ke masjid dengan langkah sendu.

“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.. Tadi ada telepon dari saudara Bang Azis, katanya Bang Azis udah meninggal,” ujarnya.

“Inna lillahi wa inna illaihi roji’un...” ucapku dan teman-teman serempak. Dafiz pun kembali ke kelasnya.

“Ternyata, ini arti mimpiku sebenarnya,” ujarku pelan.

“Arti mimpi?” tanya Astira dan Malita.

“Iya, tadi malam aku mimpi Bang Azis ke sini, tapi gak boleh kerja lagi sama Pak Mahmudi,” ceritaku. “Aku kira, mimpi itu pertanda kalau Bang Azis udah sembuh dan bisa ke sini lagi, tapi ternyata dia gak bisa kerja lagi di sini,” tambahku.

“Dia udah kembali ke sisi Allah, kita doakan supaya dia tenang di sisiNya, amin..” tanggap Malita.

“Amin...” kami mengamini.

Pada pukul 12.00...

Guru-guru telah sibuk bersiap-siap ke rumah Bang Azis untuk melayat. Murid-murid dipulangkan dua jam lebih awal dari biasanya. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang ikut melayat kecuali aku. Aku memaksakan diri untuk ikut melayat bersama beberapa ibu guru, dan kami pun berangkat dengan menggunakan taksi menuju Jalan Layur.

Kami masuk ke gang yang lumayan sempit. Di sisi kanan dan kiri berdiri rumah-rumah yang hanya dibuat dari semen dan batu bata, bahkan triplek. Banyak jemuran-jemuran yang terpajang begitu saja di depan rumah mereka. Aku melihat beberapa baki nasi aking yang sudah menguning menghadap matahari.

Sampailah aku, Bu Pras, Bu Maya, Bu Zubaidah, Bu Lina, dan Bu Yuni di rumah Bang Azis. Aku sungguh pilu melihat kondisi rumahnya yang hanya terbuat dari triplek yang kian melapuk dan berdebu.

Di sana ada Emak, wanita sesepuh yang merawat dan menemani Bang Azis dari kecil hingga sekarang ini, yang dengan tabah menghadapi kepergian keponakannya itu dengan penuh kasih sayang. Beliau yang kala itu memakai daster yang kusam dan jilbab yang telah lusuh itu bercerita banyak tentang Bang Azis. Dan aku baru tahu, bahwa Bang Azis tinggal bersama bibinya itu karena ditelantarkan oleh orang tuanya yang bercerai.

“Orang tuanya berantakan, Bu. Sejak kecil Azis sudah ikut saya, saya yang hidupi Azis dengan saudara kembarnya, Arif. Arif sekarang lagi di pesantren. Setiap hari, setelah pulang dari sekolah Azis menghabiskan waktunya hanya untuk merokok. Azis gak suka makan, tapi belasan puntung rokok bisa habis dihisapnya dari sore sampe tengah malam,” cerita Emak, air matanya menetes sedikit demi sedikit. Bu Lina tak kuat mendengar cerita Emak, beliau memalingkan wajahnya, ia tak tega menatap wajah Emak yang terus bercerita tentang Bang Azis dengan lirih.

“Tadi malam, Azis kepingin banget minum susu. Karena kondisinya makin parah, kami belikan dia susu kemasan, biar dia senang. Satu jam setelah dia minum susu itu, dia muntah-muntah sampai tengah malam. Waktu subuh, dia masih bolak-balik ke kamar mandi. Jam enam pagi, dia masih sempat nongkrong di rumah tetangga seperti biasa. Saya bikinin dia kopi dan roti. Waktu saya ke sana....” lanjut Emak. Kalimatnya tersendat.

“Waktu saya ke sana, Azis sudah keras...” ia menghapus air matanya yang kini jatuh dengan deras. Bu Lina yang begitu tegas di sekolah kini luluh mendengar cerita Emak pun mengambil sapu tangan di tasnya dan mengusap air matanya.

“Tabah, ya, Bu.. kami semua mendoakan yang terbaik untuk Azis,” kata Bu Pras menghibur Emak.

“Iya, terima kasih atas kebaikan ibu-ibu sekalian, yang bersedia datang ke rumah Azis yang sempit ini...” ujar Emak merendah.

Sembari mendesah menyudahi tangisannya, ia membuka sekardus gelas air mineral. Ia membagikannya pada kami.

“Maaf, saya Cuma punya air, gak punya kue buat ibu guru,” kata Emak. “Gak apa-apa, Bu.. ibu gak usah repot-repot,” ujar Bu Yuni.

“Oh, iya, Bu.. sebentar lagi, kembarannya Azis, si Arif itu keluar pesantren. Kalau ada lowongan, Arif mau bekerja di sekolahan seperti Azis..” kata Emak.

“Sebenarnya sekarang di sekolah kami sudah ada pengganti Azis, Bu...” jawab Bu Maya hati-hati.

“Ooh.. gak apa-apa, Bu.. saya Cuma kasih tau, kalo ada lowongan begitu... kalo gak ada juga biar Arif cari pekerjaan di tempat lain,” balas Emak.

Beberapa menit kemudian, Mama pun menyusul ke rumah Bang Azis untuk melayat ketika jenazahnya telah diboyong ke pemakaman belakang rumahnya. Mama menghampiri Emak.

“Turut berduka cita, ya, Bu.. semoga amal ibadah Azis diterima di sisi Allah, dan keluarganya diberi ketabahan..” ujar Mama.

“Terima kasih atas doanya, Bu..” jawab Emak.

“Bu, ini ada sedikit bantuan, mohon diterima, Bu..” ujar Mama sambil memasukkan selembar amplop ke dalam baskom berisi beras yang ditutup kain batik. Setelah mendoakan Bang Azis bersama-sama, aku dan Mama pun pulang terlebih dahulu tanpa sempat ke pemakamannya.

Keesokan harinya, aku dan teman-teman beraktifitas di sekolah seperti biasa. Ketika waktu istirahat tiba, aku dan teman-teman bergegas ke kantin dan membeli jajanan yang tersedia di sana.

Mama Dila menyambut kedatangan kami dengan persediaan jajanannya yang menggugah selera. Di antaranya nasi goreng dengan bakso, nasi kuning, rujak, otak-otak, dan makanan ringan seperti teh manis, es sirup, es susu rasa buah, dan teh berasa. Ada juga keripik kentang rasa barbeque, keju, dan ayam, kacang atom, cokelat, biskuit kelapa, mi instan, dan sebagainya.

Aku membeli teh rasa lemon dan dua buah otak-otak. Aku memberikan dua lembar uang ribuan dan menikmatinya di sana bersama teman-temanku yang jajan sambil membicarakan kenangan indahnya bersama Bang Azis. Obrolan kami menjadi begitu lesu dan kaku. Tidak ada canda tawa lagi dengan Bang Azis. Meskipun kami masih bisa tertawa bersama, namun hati kami telah kosong. Kosong oleh ucapan lembut seorang yang telah berjasa membantu kami, orang yang menjadi ruang mengadu kami di kala penat. Kini ia harus menjalAstiran tugas yang lebih besar di alam sana.

“Bang Azis, jasamu tak akan pernah kami lupakan. Kebersamaan yang telah kita lalui, akan terkenang abadi di lubuk hati kami. Kami berdoa supaya Bang Azis tenang di alam sana,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar