Ageboy Blog: http://ageboy.blogspot.com/2012/04/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html#ixzz1toGYf5mk the Chic Sunrise: Cerpen : Tidak Jadi Bertemu Pak SBY

Sabtu, 11 Desember 2010

Cerpen : Tidak Jadi Bertemu Pak SBY

Sejak kelas 4 SD, aku mulai mencoba untuk mengasah bakat menulisku dengan menciptakan coretan-coretan puisi abstrak, dan novel untuk mengisi waktu luang semata, aku menunjukkan karya-karyaku itu pada guru-guruku, terutama Bu Yuni (guru Bahasa Indonesiaku) untuk meminta masukan agar karyaku selanjutnya bisa lebih baik dari itu.

Maka, kumpulan jawaban mereka terkumpul dan tersaji dalam satu kalimat yang kubaca di kolomPesan Guru’ di raporku :

Ananda berbakat di bidang sastra, kembangkan terus potensimu dan raih cita-citamu.”

Suatu hari, aku pernah ditunjuk oleh Pak Dedi guru tahfiz (alqur’an) ku yang berambut ikal itu untuk membaca puisi di acara sekolah. Puisi yang kubaca untuk pertama kalinya dalam hidupku adalahMembaca Dunia’. Penggalan puisi kritik sosial itu seperti ini.

Aku... seperti berada di Gua Hira

Tubuhku bergetar tak terhingga

Aku sungguh buta

Tak mampu membaca

Tak juga mampu melihat nuansa dunia

Namun getaran-getaran dari lubuk gua itu

Mendesakku untuk membaca dan membaca

Lalu kucoa membaca dunia

Yang kini saling mencincang dengan sebilah belati kata-kata

Di koran-koran, di majalah-majalah, bahkan sampai di warteg-warteg dekat sekolahku

Saat kubaca seluruh isi puisi itu di depan ketua Yayasan Buah Hati, ibu dan bapak guru, teman-teman, adik kelas, serta masyarakat sekitar sekolah, keringatku mengalir deras. Tanganku bergetar bukan main menggenggam kertas puisi yang telah melunak seperti bubur karena aku meremasnya saat berusaha menghentikan getaran tanganku itu. Seakan tak peduli pada apapun saat itu, aku membaca puisi itu dari awal hingga tuntas. Ketika selesai membaca, semua penonton memberikan apresiasi begitu meriah. Rasa gugup dan takutku sirna sudah. Dengan percaya diri yang tiba-tiba muncul kala itu, aku pun menunduk hormat dan mengucap salam. Kemudian, aku turun dari panggung dan kembali bersama teman-temanku.

Keyra, penampilanmu tadi bagus banget!” puji Edriq. Aku tersipu malu.

Iya, tapi sayangnya... kayaknya kamu masih gugup, ya?” ujar Rufito.

“I.. iya, ya?” jawabku.

Namanya juga pertama kali. Tenang aja, Key, lain kali kamu pasti bisa lebih total!” kata Dafiz.

“Ha, ha, ha....ccc..” Iman berancang-ancang untuk bersin.

Ccciiiii...”

Aaaaaaaaaa.....!!” teriakku dan teman-teman sambil berlari tunggang lAdamng menjauhinya agar tidak melihat sesuatu yang biasa keluar setelah orang melakukan bersin.

Ketika kelas 5 SD...

Pak Dedi memanggil aku, dan dua adik kelasku, Ina dan Yessi ke ruangannya.

“Ada apa, Pak?” tanya kami serempak.

“Guru-guru di sini telah melihat potensi yang kalian miliki, yaitu menulis dan berpuisi. Maka, kalian bertiga kami tunjuk untuk mengikuti perlombaan menulis di Istana Presiden,” ujar Pak Dedi.

Ke istana presiden?” tanya Ina terperangah, ia melongo seakan tak percaya. Aku pun begitu.

Kita? Kita bertiga yang dipercayakan untuk bisa bertemu dengan Presiden Republik Indonesia, Pak SBY?” ulangku.

Iya, makanya kalian siap-siap. Latihan menulis surat untuk menghibur korban-korban tsunami di Aceh, dan bada Zuhur kita akan berangkat ke istana,” kata Pak Dedi kemudian.

Jantungku berdebar kencang. Aku senang bukan main karena aku mendapat kesempatan untuk bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Aku tidak bermimpi apa-apa tadi malam, aku pun tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi saat aku bertemu dengan Presiden RI keenam itu.

Keyra, berapa nomor telepon kantor ayah kamu? Bapak ingin memberi tahu hal ini dan meminta izin pada beliau agar kamu dibolehkan mengikuti perlombaan ini,” tanya Pak Dedi. Aku menuliskan nomor telepon itu di secarik kertas. Pak Dedi pun menyarAstiran aku, Ina, dan Yesi untuk mempersiapkan peralatan tulis dan merapikan seragam kami, kemudian beliau menghubungi ayah yang sedang bekerja di kantor.

Aku pun bergegas ke kelas dan mempersiapkan kertas HVS putih dan folio bergaris, pensil dan pulpen. Aku mengemas semua itu dengan terburu-buru saking panik dan excited nya. Kini, aku tinggal menunggu azan Zuhur berkumandang.

Ketika azan Zuhur selesai dikumandangkan, aku telah siap bersaing dengan beberapa anak dari seluruh Indonesia untuk memberikan surat terbaik kepada teman-teman di Aceh, Pak Dedi kembali menghampiri aku, Ina, dan Yesi yang sedang berkumpul di depan laboratorium komputer.

Bagaimana, Pak? Udah mau berangkat?” tanyaku semangat.

Bapak mohon maaf sekali, Keyra, Ina, Yesi. Ternyata, ada miss communication, sebenarnya sekolah kita tidak diundang di perlombaan itu,” ujar Pak Dedi, yant tentu membuat kami kecewa bukan main. Kejutan yang sebelum Zuhur tadi begitu membesarkan hati kami, dengan sekejap kini mengkerutkan perasaan kami yang telah berandai-andai bertemu dengan Pak SBY.

Bapak tahu, kalian pasti kecewa. Tapi insya Allah, kalau ada kesempatan lagi, kalian bisa ikut,” kata Pak Dedi.

Aku tak mampu berkata-kata. Begitu juga Ina dan Yesi. Kami semua pasrah dengan apa yang baru saja kami dengar. Aku pun kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran selanjutnya bersama teman-teman sambil sesekali membayangkan jika saat itu aku sedang duduk di istana negara, menulis surat untuk teman-teman yang menjadi korban tsunami di Aceh, diberikan pidato sambutan oleh Presiden RI periode 2004/2009 Indonesia. Tapi bayangan itu pupus dipantulkan cahaya matahari yang menyinari papan tulis bertuliskan rumus-rumus bangun ruang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar