Ageboy Blog: http://ageboy.blogspot.com/2012/04/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html#ixzz1toGYf5mk the Chic Sunrise: Desember 2010

Sabtu, 11 Desember 2010

Selamat Jalan Bang Azis...

Kelas satu, Mas Memet adalah penjaga kantin dan sekolahku. Kelas dua, Mas Darwin yang bertugas menggantikan Mas Memet yang ingin mencari pekerjaan baru yang lebih baik. Dan setelah Mas Darwin telah jenuh dengan profesi yang dijalaninya ini, kini Bang Azis yang dengan setia bekerja di SDIT Al-Huda sebagai penjaga sekolah. Kantin sekolah dipegang oleh Mama Nadila, istri dari salah satu pengurus Masjid Al-Huda, Mang Rif’an. Nadila adalah nama anak bungsunya. Maka dari itu, aku dan teman-teman memanggilnya Mama Dila.

Bang Azis adalah seorang pekerja sejati yang tangguh. Ia mengayuh sepedanya dari Rawamangun hingga Kelapa Gading untuk bekerja di sekolah. Dan setiap hari ia melakukan hal itu tanpa keluh kesah. Ia benar-benar semangat dalam bekerja.

Ia adalah sahabat bagiku dan teman-teman. Ia yang setiap hari bersedia menyirami tanaman di halaman sekolah kami, menyapu halaman dan kelas-kelas kami serta mengepelnya. Membersihkan kaca-kaca jendela setiap ruangan di sekolah. Berangkat dengan sepedanya yang telah ringkih menuju tempat fotokopi untuk memperbanyak lembar soal ulangan, rangkuman dan LKS, membantu guru-guru membeli makanan di warteg dekat sekolah, dan sebagainya. Ia rela melakukan itu semua demi sesuap nasi.

Ketika aku kelas 5...

Sudah dua minggu Bang Azis tidak masuk. Biasanya ia yang tiap pagi membukakan pagar sekolah ketika aku telah sampai di sekolah, dan aku menjumpainya saat mengelap kaca jendela kelas. Aku sungguh tidak tahu kabarnya belakangan ini. Pihak sekolah pun mencari penggantinya, yaitu Pak Bani.

Waktu terus berjalan, dua minggu pun menjadi dua bulan. Bang Azis tak kunjung datang ke sekolah. Aku pun menanyakan kabar Bang Azis pada Pak Mahmudi. “Pak, gimana keadaan Bang Azis? Kok udah dua bulan gak masuk? Bang Azis sakit apa, Pak?”

“Pernafasannya agak terganggu saja,” jawab Pak Mahmudi.

“Tapi kalo Cuma gangguan pernafasan, kenapa lama banget sembuhnya?” tanyaku dalam hati.

Aku dan teman-teman belum tahu penyakit apa yang diderita Bang Azis sehingga membuatnya tidak masuk selama berminggu-minggu. Pak Mahmudi selaku kepala sekolah pun tidak tinggal diam. Beliau mencoba menghubungi keluarga Bang Azis untuk mendapatkan kabar tentang Bang Azis. Dan Pak Mahmudi pun memberitahukan kami apa yang telah didengarnya dari keluarga Bang Azis, yaitu Bang Azis sakit keras. Pneumonia akut.

Siangnya, Taura, Syarif, dan Iman meminta solidaritas seluruh siswa-siswi SDIT Al-Huda untuk memberikan bantuan demi kesembuhan Bang Azis. Meskipun kami hanya menyumbangkan seribu—dua ribu rupiah, namun nominal itu sangat berharga untuk membantu pengobatan Bang Azis. Taura, Syarif dan Iman berkeliling dari kelas satu hingga kelas enam untuk mengumpulkan uang. Ternyata, mereka berhasil mendapatkan Rp 200.000,- setelah ditambah oleh guru-guru. Mereka pun menyerahkannya ke Bu Zubaidah, penanggung jawab administrasi sekolah.

Malamnya, aku bermimpi...

Bang Azis datang ke sekolah. Wajah dan tubuhnya penuh memar. Ia meminta izin Pak Mahmudi untuk kembali bekerja. Tapi karena sudah ada Pak Bani, maka Pak Mahmudi secara tidak langsung memberhentikannya dan melarangnya untuk kembali ke sekolah. Dan paginya, aku berangkat ke sekolah seperti biasa, tapi firasatku berpegang pada mimpiku semalam. Aku mengartikan sendiri mimpi itu : Hari ini Bang Azis sudah sembuh, dan kembali bekerja.

Ketika pelajaran agama Islam sedang berlangsung...

Aku tidak fokus memperhatikan penjelasan Pak Ace, guru Agama Islamku. Pikiranku menerawang memikirkan mimpiku tadi malam. Dafiz, adik kelasku pun masuk ke masjid dengan langkah sendu.

“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.. Tadi ada telepon dari saudara Bang Azis, katanya Bang Azis udah meninggal,” ujarnya.

“Inna lillahi wa inna illaihi roji’un...” ucapku dan teman-teman serempak. Dafiz pun kembali ke kelasnya.

“Ternyata, ini arti mimpiku sebenarnya,” ujarku pelan.

“Arti mimpi?” tanya Astira dan Malita.

“Iya, tadi malam aku mimpi Bang Azis ke sini, tapi gak boleh kerja lagi sama Pak Mahmudi,” ceritaku. “Aku kira, mimpi itu pertanda kalau Bang Azis udah sembuh dan bisa ke sini lagi, tapi ternyata dia gak bisa kerja lagi di sini,” tambahku.

“Dia udah kembali ke sisi Allah, kita doakan supaya dia tenang di sisiNya, amin..” tanggap Malita.

“Amin...” kami mengamini.

Pada pukul 12.00...

Guru-guru telah sibuk bersiap-siap ke rumah Bang Azis untuk melayat. Murid-murid dipulangkan dua jam lebih awal dari biasanya. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang ikut melayat kecuali aku. Aku memaksakan diri untuk ikut melayat bersama beberapa ibu guru, dan kami pun berangkat dengan menggunakan taksi menuju Jalan Layur.

Kami masuk ke gang yang lumayan sempit. Di sisi kanan dan kiri berdiri rumah-rumah yang hanya dibuat dari semen dan batu bata, bahkan triplek. Banyak jemuran-jemuran yang terpajang begitu saja di depan rumah mereka. Aku melihat beberapa baki nasi aking yang sudah menguning menghadap matahari.

Sampailah aku, Bu Pras, Bu Maya, Bu Zubaidah, Bu Lina, dan Bu Yuni di rumah Bang Azis. Aku sungguh pilu melihat kondisi rumahnya yang hanya terbuat dari triplek yang kian melapuk dan berdebu.

Di sana ada Emak, wanita sesepuh yang merawat dan menemani Bang Azis dari kecil hingga sekarang ini, yang dengan tabah menghadapi kepergian keponakannya itu dengan penuh kasih sayang. Beliau yang kala itu memakai daster yang kusam dan jilbab yang telah lusuh itu bercerita banyak tentang Bang Azis. Dan aku baru tahu, bahwa Bang Azis tinggal bersama bibinya itu karena ditelantarkan oleh orang tuanya yang bercerai.

“Orang tuanya berantakan, Bu. Sejak kecil Azis sudah ikut saya, saya yang hidupi Azis dengan saudara kembarnya, Arif. Arif sekarang lagi di pesantren. Setiap hari, setelah pulang dari sekolah Azis menghabiskan waktunya hanya untuk merokok. Azis gak suka makan, tapi belasan puntung rokok bisa habis dihisapnya dari sore sampe tengah malam,” cerita Emak, air matanya menetes sedikit demi sedikit. Bu Lina tak kuat mendengar cerita Emak, beliau memalingkan wajahnya, ia tak tega menatap wajah Emak yang terus bercerita tentang Bang Azis dengan lirih.

“Tadi malam, Azis kepingin banget minum susu. Karena kondisinya makin parah, kami belikan dia susu kemasan, biar dia senang. Satu jam setelah dia minum susu itu, dia muntah-muntah sampai tengah malam. Waktu subuh, dia masih bolak-balik ke kamar mandi. Jam enam pagi, dia masih sempat nongkrong di rumah tetangga seperti biasa. Saya bikinin dia kopi dan roti. Waktu saya ke sana....” lanjut Emak. Kalimatnya tersendat.

“Waktu saya ke sana, Azis sudah keras...” ia menghapus air matanya yang kini jatuh dengan deras. Bu Lina yang begitu tegas di sekolah kini luluh mendengar cerita Emak pun mengambil sapu tangan di tasnya dan mengusap air matanya.

“Tabah, ya, Bu.. kami semua mendoakan yang terbaik untuk Azis,” kata Bu Pras menghibur Emak.

“Iya, terima kasih atas kebaikan ibu-ibu sekalian, yang bersedia datang ke rumah Azis yang sempit ini...” ujar Emak merendah.

Sembari mendesah menyudahi tangisannya, ia membuka sekardus gelas air mineral. Ia membagikannya pada kami.

“Maaf, saya Cuma punya air, gak punya kue buat ibu guru,” kata Emak. “Gak apa-apa, Bu.. ibu gak usah repot-repot,” ujar Bu Yuni.

“Oh, iya, Bu.. sebentar lagi, kembarannya Azis, si Arif itu keluar pesantren. Kalau ada lowongan, Arif mau bekerja di sekolahan seperti Azis..” kata Emak.

“Sebenarnya sekarang di sekolah kami sudah ada pengganti Azis, Bu...” jawab Bu Maya hati-hati.

“Ooh.. gak apa-apa, Bu.. saya Cuma kasih tau, kalo ada lowongan begitu... kalo gak ada juga biar Arif cari pekerjaan di tempat lain,” balas Emak.

Beberapa menit kemudian, Mama pun menyusul ke rumah Bang Azis untuk melayat ketika jenazahnya telah diboyong ke pemakaman belakang rumahnya. Mama menghampiri Emak.

“Turut berduka cita, ya, Bu.. semoga amal ibadah Azis diterima di sisi Allah, dan keluarganya diberi ketabahan..” ujar Mama.

“Terima kasih atas doanya, Bu..” jawab Emak.

“Bu, ini ada sedikit bantuan, mohon diterima, Bu..” ujar Mama sambil memasukkan selembar amplop ke dalam baskom berisi beras yang ditutup kain batik. Setelah mendoakan Bang Azis bersama-sama, aku dan Mama pun pulang terlebih dahulu tanpa sempat ke pemakamannya.

Keesokan harinya, aku dan teman-teman beraktifitas di sekolah seperti biasa. Ketika waktu istirahat tiba, aku dan teman-teman bergegas ke kantin dan membeli jajanan yang tersedia di sana.

Mama Dila menyambut kedatangan kami dengan persediaan jajanannya yang menggugah selera. Di antaranya nasi goreng dengan bakso, nasi kuning, rujak, otak-otak, dan makanan ringan seperti teh manis, es sirup, es susu rasa buah, dan teh berasa. Ada juga keripik kentang rasa barbeque, keju, dan ayam, kacang atom, cokelat, biskuit kelapa, mi instan, dan sebagainya.

Aku membeli teh rasa lemon dan dua buah otak-otak. Aku memberikan dua lembar uang ribuan dan menikmatinya di sana bersama teman-temanku yang jajan sambil membicarakan kenangan indahnya bersama Bang Azis. Obrolan kami menjadi begitu lesu dan kaku. Tidak ada canda tawa lagi dengan Bang Azis. Meskipun kami masih bisa tertawa bersama, namun hati kami telah kosong. Kosong oleh ucapan lembut seorang yang telah berjasa membantu kami, orang yang menjadi ruang mengadu kami di kala penat. Kini ia harus menjalAstiran tugas yang lebih besar di alam sana.

“Bang Azis, jasamu tak akan pernah kami lupakan. Kebersamaan yang telah kita lalui, akan terkenang abadi di lubuk hati kami. Kami berdoa supaya Bang Azis tenang di alam sana,

Kakakku Cinta Dia, Aku Juga!

Siang itu, aku sedang bersantap dengan keluargaku. Ada ikan goreng, sayur asem, lalapan serta sambal terasi masakan Mama. Lauk yang sangat sederhana ini terasa sangat nikmat dan istimewa ketika disantap bersama keluarga tercinta. Aku pun memakannya dengan lahap.

Ketika aku menyendok kuah sayur asem, telepon rumahku berdering. Krrriiiing..... kriiiiiing..... Karena aku merupakan anggota keluarga yang paling kecil, maka akulah yang mengalah untuk mengangkat telepon itu.

“Halo,” sapaku.

“Halo, Adam nya ada?” tanya seorang perempuan, suaranya sangat bergetar. ‘Suaranya kok gemetaran gitu, ya? Jangan-jangan...’ pikirku. Sudahlah, aku tidak boleh berburuk sangka. Yang jelas, aku harus menanyakan siapa yang menelepon itu.

“Ada, ini dari siapa?” tanyaku hati-hati.

“Dari Amanda..” jawabnya. ‘Wah, nama yang sama dengan sekolahku!’

“Tunggu sebentar, ya?” ujarku.

“Kak Adam, ada telepon, dari Kak Amanda!” panggilku pada Kak Adam yang tengah mengunyah kerupuk udangnya. Ia langsung melonjak dari duduknya dan cepat-cepat meraih gagang telepon.

“Halo,” suara Kak Adam jauh lebih merdu saat berbicara dengan Kak Amanda. Aku bisa menerka bahwa Kak Amanda adalah seseorang yang sangat spesial di hati kakak sulungku ini.

Aku pun kembali ke ruang makan dan melanjutkan makanku. Malamnya, Kak Adam memanggilku yang sedang mengerjakan PR di kamar. Keyra, Kak Adam mau telepon Kak Amanda. Nanti kamu kenalan, ya?” ujarnya. Kak Adam memberikan HP nya padaku setelah nada sambung berbunyi.

“Halo, ini Kak Amanda, ya?” ucapku setelah Kak Amanda mengangkat HP nya.

“Iya, nama kamu Keyra, kan?” ujar Kak Amanda.

“Iya, Kak..” jawabku.

“Kamu sekolah di mana, Keyra?” tanya Kak Amanda.

“Di SDIT Al-Huda, Kak..” jawabku diiringi tawa kecilku.

“Ngomong-ngomong, kamu paling suka kartun apa?” tambah Kak Amanda.

“Power Puff Girls, Ninja Hatori, Doraemon, Hamtaro, banyak, deh.. aku suka semuanya...” jawabku.

“Kata Kak Adam, di sekolah kamu ada pelajaran alqur’an, ya? Hafalanmu udah sampe juz berapa?” tanyanya.

“Baru juz 30 Kak, surat Albayyinah,” jawabku.

“Kita balap-balapan hafalin juz, yuk.. selain memotivasi, pahala juga lho kalo rajin baca qur’an..” ujar Kak Amanda.

“Iya, yuk, yuk, yuk.. Kuterima tantangannya! Hehehe...” jawabku semangat.

Dan pertanyaan demi pertanyaan pun terus mengalir dari Kak Amanda padaku, entah itu tentang hobi, warna favorit, grup band yang kuidolakan, sekolah, hingga hal yang kuharap tidak dipertanyakannya pun ditanyakannya pula. “Kak Adam itu galak gak, sih?”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena di sampingku ada Kak Adam yang siap mensortir setiap jawaban yang kukeluarkan. Aku pun memberanikan diri untuk menjawab dengan polosnya,

“Kadang-kadang, sih, Kak.. tergantung mood dan keadaan,” aku melirik ke Kak Adam yang hampir tertidur karena kelelahan menungguku selesai berbincang dengan Kak Amanda.

“Kak, Kak Adam udah ngantuk tuh nungguin aku selesai ngobrol sama Kak Amanda, udah dulu, ya, Kak.. besok kita sambung lagi,” ujarku mengusaikan perbincanganku dengan Kak Amanda malam itu.

“Oke, besok disambung lagi, ya..” balas Kak Amanda dengan lembut dan nada yang bersahabat.

“Iya, bye bye, Kak Amanda...” salamku.

Bye, bye..” jawab Kak Amanda. Aku pun mengalihkan HP ke Kak Adam.

Keesokan harinya, sepulang sekolah aku mendapati Kak Adam sedang asyik mengobrol dengan Kak Amanda lewat telepon. Aku dapat merasakan kebahagiaan yang terpancar dari tawa Kak Adam ketika bertelepon. Aku semakin merasa yakin akan pilihan kakakku itu.

Setelah mengganti seragam, aku langsung memberi kode pada Kak Adam untuk bergantian berbincang dengan Kak Amanda. Kak Adam pun mengalah dan menyerahkan HP nya padaku.

“Hai, Kak Amanda...!!” sapaku dengan penuh ceria dan semangat. Aku mulai cinta pada Kak Amanda seperti kakakku sangat mencintainya.

“Hai juga, Keyra..!!” jawabnya tak kalah semangat. Kini giliranku yang bertanya banyak tentang Kak Amanda.

“Kak Amanda suka main ABC 5 dasar gak?” tanyaku.

“Iya, aku masih suka main ABC 5 dasar.. padahal itu kan permainan anak SD, ya? Tapi aku suka.. menguji hafalan dan ingatan!” komentar Kak Amanda.

“Kapan-kapan Kak Amanda ke rumahku, dong.. Aku pengen ketemu deh, sama Kak Amanda.. kita main ABC 5 dasar bareng..” ajakku.

“Iya, kalo ada kesempatannya, ya.. aku juga pengen banget ketemu sama kamu dan kakak kamu yang satu lagi, siapa namanya?” jawabnya.

“Kak Yanti,” ujarku.

“Oh, ya! Bilangin dong sama kakakmu itu...” kata Kak Amanda.

“Nanti aku ngomong sama Kak Adam, ya, Kak..” balasku.

“Oke, udah dulu, ya, Kak. Kak Adam mau ngobrol lagi, nih..” ujarku kemudian saat melihat Kak Adam yang melirikku dan jam dinding secara bergantian.

“Iya, iya.. abis ini belajar, ya...” pesan Kak Amanda. Perhatiannya yang begitu mendalam membuatku seakan berada di posisi Kak Adam baginya.

“Pasti, Kak..!” jawabku meyakinkan, aku pun mengalihkan kembali HP ke Kak Adam.

Suatu hari, ketika Mama dan Ayah sedang ke Lampung untuk menghadiri acara keluarga di sana, Kak Amanda datang ke rumahku dengan diantar Kak Adam.

Ketika itu, aku sedang mendengarkan alunan lagu Trio Kwek-Kwek di kamarku. Kudengar suara pagar diketuk oleh Kak Adam.

“Assalamu’alaikum,” salamnya.

“Wa’alaikum salam,” jawabku.

Ketika kubuka pintu pagar, aku melihat seorang gadis berambut ikal, bertubuh tinggi, dengan binar maa yang memancarkan kasih sayang dan senyumannya yang merekah menebarkan keramahan dan kelembutan hatinya itu. Jantungku berdegup kencang melihat kecantikan parasnya yang menampilkan pula kecantikan hatinya. Aku menjabat tangannya yang halus.

“Kak Amanda, ya?” ujarku.

Iya, Keyra..” jawabnya. Aku selalu tergila-gila dengan senyumannya yang menawan itu. “Masuk, Kak..” ajakku langsung. Kak Amanda pun masuk ke rumahku dan kupersilahkan duduk di ruang tamu.

Kak Yanti yang baru keluar dari kamar mandi pun menyapanya dan membuatkan minuman untuknya. Aku langsung mengambil dua lembar kertas dan dua buah pensil, dan mengajak Kak Amanda bermain ABC 5 dasar.

“Kategorinya apa aja, nih?” tanya Kak Amanda.

“Nama orang, artis, hewan, buah, dan negara, Kak,” ujarku. Kami pun membuat tabel dan menuliskan kategorinya. Kemudian kami mengacungkan tangan kami dan menghitungnya. Huruf N yang pertama muncul.

Aku dan Kak Amanda mulai menulis. Beberapa detik kemudian, aku mengumumkan jawabanku, begitu juga Kak Amanda.

“Nama orang Nani, artisnya Keyra Syakieb, hewannya naga, buahnya nanas, negaranya Nigeria,” ujarku.

“Kalo aku nama orangnya Nana, artisnya Nadia Vega, hewannya nyamuk, buah nangka, negaranya Nepal,” balas Kak Amanda.

“Wah.. pertanyaan kita beda semua, nilai kita sama-sama 500, Kak!” ujarku senang.

“Yes...!!!” sorakku dan Kak Amanda berbarengan.

“Ngomong-ngomong tentang Keyra Syakieb, Kak Amanda mirip Keyra Syakieb, deh.. Hahaha...” ujarku.

“Emang iya, ya?” tanya Kak Amanda bingung.

“Mmm.. iya juga, ya? Hidungnya sama, matanya juga mirip.. hehehe...” tambah Kak Amanda.

“Terus, kalo Kak Adam mirip siapa, Kak?” tanyaku.

“Kalo Kak Adam mirip Baim Wong,” jawab Kak Amanda. Kak Adam yang baru turun dari kamarnya di lantai atas pun menghampiri kami.

“Kayaknya seru, nih..” ujarnya.

“Iya, Kak. Mau ikutan?” tawarku.

“Gak usah, deh. Ngeliatin kalian main aja,” jawab Kak Adam. Ia pun duduk bersila di antara aku dan Kak Amanda.

“Sekarang negara dari huruf U!” ujarku.

“Ini, sih identitasku..” kata Kak Amanda pelan. “Uruguay!” jawabku dan Kak Amanda serempak.

“Wah, jawaban kita sama, nih..” ujar Kak Amanda.

“Iya, Kak. Kompak dong kita?” tambahku.

“Iya, dong.. namanya juga udah sehati,” goda Kak Adam.

“Maksudnya..??” tanya Kak Amanda melirik ‘sengit’ ke Kak Adam.

Belum sampai dua puluh enam huruf kami mainkan, azan Maghrib berkumandang. Aku pun menyudahi permainan kami karena Kak Amanda harus segera pulang. Orang tuanya pasti telah cemas menunggu anaknya yang belum pulang.

“Keyra, Kak Amanda harus pulang dulu, nanti dicariin orang tuanya..” ujar Kak Adam.

“Yaaah... udahan, deh mainnya..” keluhku.

“Nanti kapan-kapan kita main lagi, ya, Keyra.. masih banyak kesempatan, kok.” Hibur Kak Amanda.

“Ya udah, nanti kita telepon-teleponan lagi, ya, Kak!” jawabku.

“Pasti... tenang aja,” aku bersalaman dengan Kak Amanda ketika Kak Adam memanaskan mesin mobil dan mengantarkan Kak Amanda pulang.

Kak Amanda pun masuk ke mobil dan aku terus melambaikan tangan padanya hingga mobil melaju kencang dan menghilang dari pandanganku.

Keesokan harinya, aku yang baru pulang sekolah disambut oleh Kak Adam. Ia memberikanku sesuatu.

“Keyra, tutup mata, deh. Ada surprise, nih.” Kata Kak Adam. Aku pun memejamkan mataku. Aku menengadahkan tanganku. Tiba-tiba benda berbentuk balok kecil dari plastik dan beraroma buah ada di genggamanku. Aku membuka mata dan melihat kejutan yang ternyata adalah sebuah permen rasa strawberry dengan lampu di dalam batangnya yang berbentuk balok itu.

“Dari Kak Amanda,” kata Kak Adam singkat. Aku pun langsung menelepon Kak Amanda dan mengucapkan terima kasih. Kemudian menikmati permennya, dan menyimpan gagangnya di dalam kotak ‘benda bersejarah’ku hingga sekarang.

Pernah juga Kak Amanda memberikanku kiriman kilat lewat pos di awal Bulan Ramadhan. Sebuah amplop cokelat kuterima. Di dalamnya terdapat sepucuk surat, sebungkus marshmallow strawberry, dan cokelat pasta. Di dalam surat itu terdapat potongan kalimat yang masih kuingat, “Ini aku kasih marshmallow dan cokelat buat kamu. Tapi dimakannya pas buka puasa, ya. Jangan siang-siang, nanti puasamu batal.. aku yang dimarahin sama mama kamu, hehehe..”. Mulai saat itu aku sudah menganggap Kak Amanda seperti kakakku sendiri. Karena perhatiannya yang begitu besar padaku.

Beberapa bulan kemudian, Kak Raysuli atau yang kerap disapa Kak Uli, kakak sepupuku menikah dengan Mbak Irma, teman SMA nya di Surabaya dulu. Kak Adam yang paling akrab dengan Kak Uli pun datang ke pesta pernikahannya bersama sahabatnya dari SMP, Satwiko, dan tentu saja Kak Amanda.

Malam itu, aku menghubungi Kak Adam yang tak kunjung datang dengan Kak Amanda dan teman lamanya itu padahal jam tanganku telah menunjukkan pukul 20.00 WIB.

“Kak Adam, udah di mana? Kok belum sampe?” tanyaku.

“Ini Kak Adam lagi di tempat kebab sama Kak Amanda,” jawab Kak Adam. Aku pun segera bergegas ke meja kebab dan menemui Kak Amanda yang datang dengan memakai gaun cokelatnya, rambutnya dikuncir bundar. Cantik sekali.

Aku langsung menarik tangan Kak Amanda menuju keponakanku, Alka.

“Kak Amanda, kita ke Alka, yuk! Keponakanku yang sering kuceritain itu lho, Kak..” ajakku.

“Eh, eh, eh... main tarik aja! Bilang dulu, dong, sama yang punya!” gumam Kak Adam.

“Ehem,” aku batuk dengan sengaja. Kemudian berjalan menuju Alka yang sedang makan es krim dengan lahapnya.

“Halo, Dik..” sapa Kak Amanda pada Alka yang memakai busana muslim dan peci kecilnya itu. Alka langsung menyalami Kak Amanda. Kemudian, kami berbincang tentang banyak hal. Hingga hari semakin malam, aku, Mama, Ayah dan Kak Yanti pun pulang. Kak Adam dan Kak Amanda pun pulang lebih dulu ke rumahku, kemudian bersiap-siap untuk kembali ke kost-an masing-masing di Bogor dengan motor.

“Hati-hati, ya, Nak..” pesan Mama ketika Kak Adam menstarter motornya. Kak Amanda memakai jaket dan helmnya.

“Iya,” Kak Adam mengangguk.

“Sampe ketemu lagi, ya, Amanda..” kata Kak Yanti.

“Iya.. terima kasih, ya sudah diundang...” jawab Kak Amanda dengan santun.

“Daaag... Kak Amanda... Daaag... Kak Adam...!!” seruku sambil melambaikan tangan saat Kak Adam melajukan motornya dengan kencang, menembus angin, diiringi gemerlap bintang malam menuju kota hujan, Bogor.

* * *

Karena Kak Adam dan Kak Amanda sudah cukup sibuk dengan aktivitas kuliahnya, maka Kak Adam yang sedang mengejar gelar sarjananya di IPB pun jarang pulang ke rumah. Ia harus berkutat dengan skripsi dan urusan kuliahnya. Maka dari itu, aku hanya bisa berkomunikasi dengan Kak Amanda lewat telepon, SMS, ataupun surat. Setiap Kak Adam pulang, ia pasti memberikan surat dari Kak Amanda untukku, begitu juga jika ia kembali ke kost-annya. Ia akan memberikan suratku ke Kak Amanda.

* * *

Tanggal 22 Desember 2007 adalah hari yang sangat berarti dalam hidupku. Bukan hanya karena pada hari itu usiaku bertambah satu tahun, tapi pada hari itu Kak Adam akan mengajakku dan Kak Amanda ke Seaworld bertiga setelah aku pulang sekolah.

Di perjalanan pulang, aku menghampiri sebuah warung dan membeli beberapa snack untuk dinikmati bersama di perjalanan bersama Kak Amanda dan Kak Adam.

“Bu, beli letto dong,” ujarku sambil menunjuk ke rak keripik kentang Leo.

“Letto mah nama band, Dik.. maksudnya Leo kali’..?” jawab wanita yang menjaga warungnya itu.

“Oh, iya, iya.. maaf, salah ngomong.. maksudnya Leo..! beli tiga, sama permen cokelat dan keripik singkong baladonya masing-masing tiga, ya..” pesanku.

Aku pun merogoh dompet di dalam tasku sementara si ibu membungkus belanjaanku.

“Enam ribu, dik,” ujar ibu.

“Makasih, ya, Bu,” ucapku sambil memberikan uang dan menenteng plastik snack itu. Aku pun berjalan pulang.

Di rumah, aku mengganti seragamku dengan kaus pink lengan panjang, celana jeans dan jilbab putih. Aku tak sabar menunggu Kak Adam yang akan datang bersama Kak Amanda untuk menjemputku menuju Taman Impian Jaya Ancol, tepatnya Sea World.

Pukul tiga sore, Kak Adam pun datang bersama Kak Amanda. Pakaian mereka serasi, yaitu dengan bahan jeans berwarna biru tua.

“Janjian, nih, ye..?” godaku sambil melirik kakakku itu.

“Iya, dong..” jawab Kak Adam. “Kak Amanda, I miss you so much!” ujarku lantas memeluk Kak Amanda dengan erat.

“Oh, ya, udah siap belum?” tanya Kak Adam.

“Udah, dari tadi malah..” balasku.

“Ya udah, minta izin dulu, yuk sama Mama..” kata Kak Adam. Begitu Mama keluar dari kamar selepas sholat Ashar, kami pun meminta izin untuk pergi ke Seaworld.

“Ma, aku mau ajak Keyra sama Amanda jalan-jalan ke Sea World,” kata Kak Adam pada Mama. Kak Amanda langsung menjabat tangan Mama.

Wah, mau seneng-seneng, nih.. pas weekend lagi.. udah lama lho, Keyra pengen jalan-jalan sama Amanda,” kata Mama.

“Iya, tante..” jawab Kak Amanda.

“Ya sudah, kalian boleh pergi. Tapi pulangnya jangan terlalu malam, ya..” pesan Mama.

“Oke, Ma!” Kak Adam membenarkan kerah kemejanya.

“Hati-hati, ya, Nak...” pesan Mama lagi.

“Nak yang mana, nih, Ma?” tanya Kak Adam, menggoda Mama.

“Edi Sud beli minyak, maksudnyaaaak...??” ledekku. Kami pun secara bergantian mencium tangan Mama dan lekas masuk ke mobil menuju Sea World.

Di perjalanan, Kak Adam menyetel kaset Ungu, dan ia mengulang lagu ‘Andai Kutahu’ berkali-kali. Ia sangat tersentuh oleh lagu itu. Selama perjalanan, aku pun berdiskusi dengan Kak Amanda.

“Kak, kalo kita udah iparan nanti, pasti kita gak bakalan gak akur! Belum iparan aja kita udah kompak, deket, dan nyambung banget kayak gini..” ujarku senang.

“Iya, insya Allah kalo ada kesempatannya, ya, Keyra..” jawab Kak Amanda, ia memberikan senyuman termanisnya untukku.

“Kalo kita udah iparan nanti...” ujarku pelan sambil memberikan selembar kertas rencana yang telah kutulis untuk diwujudkan bersama Kak Amanda ketika kelak waktunya tiba.



Ƙ Lomba menghafal Al-qur’an

Ƙ Masak-masak, shopping, cerita-cerita bareng sepuasnya

Ƙ Kak Huda baca isi diaryku

Ƙ Main tebak-tebakan, nyanyi-nyanyi bareng, main ABC 5 dasar, dan gila-gilaan sepuasnya

Ƙ Bikin novel, (aku ceritain semua tentang Kak Huda, dan sebaliknya).

I hope it will be happen!


Kak Amanda hanya bisa tertawa kecil membaca tulisanku yang polos namun penuh harap itu. Yang ia harus tahu adalah rencanaku itu mulia, dan kertas itu sangat berharga bagiku. Karena tulisan yang ada di dalamnya menunjukkan betapa aku mencintainya dan berharap banyak padanya untuk bisa segera menjadi istri kakak pertamaku. Kak Adam yang sempat melirik sedikit tulisanku itu tak berkata apa-apa, tapi pasti ia berkata sesuatu di dalam hatinya.

Akhirnya, kami pun sampai di Sea World, Ancol. Di sana, Kak Amanda memberikanku kado berupa lilin mainan, pensil warna, dan papan tulis kecil bergambar Cinderella berwarna ungu yang sebelumnya dibungkus rapi dengan kertas kado bergambar The Simpsons.

“Wah, kadonya bagus-bagus banget, Kak Amanda! Aku suka banget! Makasih banyak, ya, Kak!” aku memeluk Kak Amanda dengan sangat erat seperti sepasang kakak adik yang tak akan terpisahkan.

“Sama-sama, aku juga seneng kalo kamu seneng menerimanya,” jawab Kak Amanda. Aku memasukkan kado itu ke dalam tasku. Dan kami pun berkeliling Sea World sambil melihat berbagai macam ikan dan binatang laut yang dilestarikan di sana.

Kami memperhatikan semua ikan, kuda laut, bintang laut, dan ekosistem dalam laut di sana. Kami tak perlu guide lagi karena sudah ada Kak Adam yang siap menjelaskan tentang apa yang kami lihat itu. pengetahuannya yang luas itu dikarenakan ia mendalaminya di fakultasnya selama bertahun-tahun. Ketika hari makin sore, Kak Adam pun menganjurkan kami untuk pulang.

Di perjalanan pulang, aku baru teringat kalau aku membawa banyak makanan ringan. Maka, aku pun menyuguhkan makanan murah meriah itu pada Kak Adam dan Kak Amanda.

“Kak, tadi aku beli jajanan lho.. mau gak?” tawarku lantas memberikan dua bungkus keripik singkong pedas, keripik kentang, dan permen cokelat pada Kak Amanda.

“Wow.. pasti enak, tuh!” ujar Kak Adam.

“Kita buka yang ini dulu, ya!” kata Kak Amanda sambil membuka keripik singkong pedas.

“Ehem,” aku batuk dengan sengaja ketika Kak Amanda mengambil sepotong keripik dan mendekatkannya ke mulut Kak Adam.

“Keyra kepedesan? Minum yang banyak, ya!!” ujar Kak Amanda polos. Aku tersenyum dan melirik penuh arti padanya.

Begitu juga pada tanggal 20 Oktober di tahun berikutnya. Ketika itu bulan puasa. Dan pada hari itu pula Kak Adam memberitahuku bahwa besok adalah hari ulang tahun Kak Amanda dan memintaku untuk memberikannya kado yang sangat spesial. Tapi... aku tidak punya banyak uang! Bagaimana ini??? Tidak mungkin aku tidak memberi kado untuk orang yang sangat istimewa untukku dan kakakku itu. Aku segera bergegas ke sebuah distro dekat rumahku dan membeli dua buah jepitan rambut etnik berwarna ungu. Setelah aku merasa yakin dengan apa yang akan kuberikan untuk Kak Amanda besok, aku pun pulang ke rumah.

Aku pun meKeyar pikiranku, berusaha mencari ilham dan menggali kreativitas yang kumiliki.

“Kayaknya gak cukup, deh cuma kasih Kak Amanda jepitan ini..” pikirku. Maka, aku segera mengambil karton putih, majalah, double tape, spidol warna-warni, dan kertas berwarna.

Aku menuliskan kalimat “HAPPY BIRTHDAY” di sisi tengah atas karton dengan spidol warna-warni. Kemudian aku mengkliping foto-foto artis dan band seperti Ian Kasela, Marshanda, Tasya, dan Eross Sheila On 7 di sudut-sudut karton itu dan menuliskan ucapan selamat ulang tahun di samping foto mereka seakan-akan ucapan itu benar-benar dari mereka langsung. Aku pun menulis dengan gaya tulisan yang berbeda di setiap artis dan membubuhkan tanda tangan palsu mereka. Kemudian aku menempelkan kertas berwarna ungu yang telah kutulis dengan puisi dan penggalan lirik lagu yang sangat romantis dari Sheila On 7 untuk Kak Amanda. Setelah jadi, aku pun membiarkan karyaku dicermati oleh Kak Adam terlebih dahulu.

“Wooow... Keren banget!! Kamu yang bikin?” puji Kak Adam, aku tak merasa dipuji karena menurutku itu abstrak sekali.

“Iya, jelek, ya? Gak pantes untuk dikasih ke Kak Amanda, kan?” ujarku pesimis.

“Ini bagus lagi. Bikinan kamu sendiri pasti lebih berkesan buat Kak Amanda,” hibur Kak Adam.

“Lagian aku kan gak punya uang banyak dan gak tau mau kasih kado apa, tiba-tiba kepikiran bikin poster ini,” ujarku.

“Tadi aku juga baru beli jepitan rambut ini buat Kak Amanda, bagus gak?” tambahku.

“Bagus... Kamu gulung poster ini pake pita yang rapi, besok kita ke rumah Kak Amanda, kita kasih surprise buat dia, gimana?” ujar Kak Adam menyimpulkan.

“Besok kita ke rumah Kak Amanda?! Asyiiik...!!” seruku, aku senang bukan kepalang. Aku pun tak sabar menunggu hari esok tiba.

Keesokan harinya...

Kak Adam mendekati Mama yang sedang menyajikan martabak manis dan es kelapa untuk buka puasa nanti.

“Ma, aku sama Keyra buka puasa di rumah Amanda, ya? Hari ini Amanda ulang tahun, kita mau ke sana,” ujar Kak Adam.

“Kamu mau berangkat sekarang?” tanya Mama.

“Iya,” jawab Kak Adam sambil mengambil buah pisang dan membuka kulitnya.

“Heeeh.. kamu gak puasa? Kok udah mau dimakan aja pisangnya?!” tegur Mama.

“Oh, iya, ya? Lupa..! hehehe...” balas Kak Adam.

“Dasar! Baru mau ke rumah si ehem aja udah grogi sampe hampir batal puasa!” ledek Mama.

“Yaah.. Ma.. namanya juga anak muda!” goda Kak Adam.

“Ya sudah, kamu berangkat sana. Barangkali Amanda udah nungguin kalian,” anjur Mama.

“Oke, Ma! Let’s go, Keyra!” seru Kak Adam dengan semangat ketika aku baru saja turun dari kamarku sambil membawa gulungan poster dan sekotak kado yang disampul ketas cokelat bergambar teddy bear itu.

Kami pun berangkat ke rumah Kak Amanda yang terletak di Bekasi pada pukul 16.00. Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih satu jam. Sesampainya di sana, Kak Adam menyalakan sebuah lilin berwarna pink dan menyembunyikannya di belakang punggungnya. Dan kami mengetuk pagar rumah Kak Amanda.

“Assalamu’alaikum,” salamku dan Kak Adam dengan sopan. Aku melihat berbagai macam tanaman di halaman depan rumahnya yang lumayan luas.

“Wa’alaikum salam,” sambut Kak Amanda. Ia pun mempersilahkan kami masuk ke rumahnya dan berbincang di beranda rumahnya.

Kak Adam memunculkan lilin yang telah meleleh sedikit di tangannya karena telah lama digenggamnya dari tadi.

Happy birthday to you, happy birthday to you.. happy birthday.. happy birthday.. happy birthday to you...” aku dan Kak Adam menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Kak Amanda. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena bahagia.

“Perlu make a wish gak, nih? Atau langsung tiup aja?!” tanya Kak Amanda grogi.

“Langsung tiup aja, Kak. Tangan Kak Adam udah kepanasan, tuh..lilinnya meleleh.. hehehe.. just kidding!” celetukku sambil menunjukkan dua jariku membentuk huruf V.

“Gak apa-apa lagi, lelehan cinta...” canda Kak Adam. Kak Amanda pun diam sejenak, kemudian meniup lilinnya dengan semangat. Aku bertepuk tangan, ikut merasakan kebahagiaan yang tercurah dari wajah Kak Amanda.

“Kak, liat juga dong kado dari aku..” ujarku lantas memberikan dua kado spesialku ketika kami telah duduk di teras depan rumah.

“Apa, nih isinya? Lebih surprise yang mana, nih?” tanya Kak Amanda penasaran.

“Yang digulung, Kak,” jawabku. Aku yang kini deg-degan menanti reaksi Kak Amanda melihat poster abstrakku itu.

Kak Amanda melepas ikatan pita pink itu dan membuka gulungan poster perlahan-lahan dan membaca isinya.

“Hahaha.... kamu kreatif banget, Keyra... ini kamu yang bikin?” puji Kak Amanda sambil membaca ucapan-ucapan dari artis yang sedang naik daun saat itu.

“Iya, Kak. Tapi itu kata-katanya dari aku, lho.. bukan dari Ian Kasela dan Dian Sastro..” candaku.

“Iya, iya.. aku tahu, kok.. makasih, ya.. kamu hebat banget, deh!” ujar Kak Amanda membuatku tersipu dan makin mencintainya.

Kemudian ia membaca beberapa baris puisi yang kubuat dari penggalan lirik beberapa lagu Sheila On 7.

“Kaulah anugerah terindah yang pernah kumiliki, yang dengan tertatih memasuki ruang hatinya, kini kau beranjak dewasa kakakku yang tercinta... kakakku ada karena kau telah tercipta..” Matanya berkaca-kaca menahan tawa dan tangis bahagia.

Kami pun berbincang-bincang hingga azan Maghrib berkumandang.

“Allahu akbar, Allahu akbar...!!!”

“Alhamdulillah,” ucapku, Kak Amanda, dan Kak Adam bersamaan.

Seketika itu pula, ibu Kak Amanda menyapa kami.

“Eh, ada temannya Amanda.. dari kapan kalian datang?” sapa beliau. Aku dan Kak Adam langsung menyalami beliau.

“Dari tadi Tante.. baru sebentar, sih..” jawab Kak Adam.

“Kok gak diajak masuk, sih, Da?” tanya ibu Kak Amanda.

“Gak pa-pa, kok, Ma. Enakan ngobrol di luar..” jawab Kak Amanda.

“Mari masuk, kita buka puasa sama-sama,” ajak ibu Kak Amanda.

Kami pun masuk ke rumah Kak Amanda dan duduk bersila di sebuah tikar yang di atasnya berkeliling berbagai sajian buka puasa seperti butter bullet, kroket, kurma isi keju, dan teh manis panas. Cara berbuka puasa seperti ini merupakan tradisi orang Arab. Aku pun menyantap butter bullet itu. Lezat sekali. Gigitan pertama langsung memberikan sensasi rasa yang menarik di lidah dan memikat selera. Lidahku pun gatal untuk mengatakan,

“Mantap..!!” “Hahaha... bisa saja kamu, Nak..” ungkap ibu Kak Amanda melihat mimikku yang begitu berselera menyantap hidangannya itu. Setelah menikmati hidangan buka puasa itu, kami pun sholat Maghrib berjama’ah dengan Kak Adam sebagai imamnya. Setelah itu, Kak Adam meminta izin untuk pulang sekaligus jalan-jalan bersama Kak Amanda ke sebuah mall di Jakarta Pusat sementara aku pulang ke rumah, tidak ikut acara mereka. Kak Adam pun mengantarku pulang dan meneruskan perjalanan ke mall bersama Kak Amanda.

Itulah kenangan yang telah kuukir dengan sangat indah bersama Kak Amanda. Begitu mengesAstiran, penuh kesenangan, dan tak akan pernah aku lupakan. Aku berharap pada waktu yang tepat nanti, Kak Amanda bisa menjadi kakak iparku. Dan aku bisa mewujudkan impian-impianku bersamanya.

Cerpen : Tidak Jadi Bertemu Pak SBY

Sejak kelas 4 SD, aku mulai mencoba untuk mengasah bakat menulisku dengan menciptakan coretan-coretan puisi abstrak, dan novel untuk mengisi waktu luang semata, aku menunjukkan karya-karyaku itu pada guru-guruku, terutama Bu Yuni (guru Bahasa Indonesiaku) untuk meminta masukan agar karyaku selanjutnya bisa lebih baik dari itu.

Maka, kumpulan jawaban mereka terkumpul dan tersaji dalam satu kalimat yang kubaca di kolomPesan Guru’ di raporku :

Ananda berbakat di bidang sastra, kembangkan terus potensimu dan raih cita-citamu.”

Suatu hari, aku pernah ditunjuk oleh Pak Dedi guru tahfiz (alqur’an) ku yang berambut ikal itu untuk membaca puisi di acara sekolah. Puisi yang kubaca untuk pertama kalinya dalam hidupku adalahMembaca Dunia’. Penggalan puisi kritik sosial itu seperti ini.

Aku... seperti berada di Gua Hira

Tubuhku bergetar tak terhingga

Aku sungguh buta

Tak mampu membaca

Tak juga mampu melihat nuansa dunia

Namun getaran-getaran dari lubuk gua itu

Mendesakku untuk membaca dan membaca

Lalu kucoa membaca dunia

Yang kini saling mencincang dengan sebilah belati kata-kata

Di koran-koran, di majalah-majalah, bahkan sampai di warteg-warteg dekat sekolahku

Saat kubaca seluruh isi puisi itu di depan ketua Yayasan Buah Hati, ibu dan bapak guru, teman-teman, adik kelas, serta masyarakat sekitar sekolah, keringatku mengalir deras. Tanganku bergetar bukan main menggenggam kertas puisi yang telah melunak seperti bubur karena aku meremasnya saat berusaha menghentikan getaran tanganku itu. Seakan tak peduli pada apapun saat itu, aku membaca puisi itu dari awal hingga tuntas. Ketika selesai membaca, semua penonton memberikan apresiasi begitu meriah. Rasa gugup dan takutku sirna sudah. Dengan percaya diri yang tiba-tiba muncul kala itu, aku pun menunduk hormat dan mengucap salam. Kemudian, aku turun dari panggung dan kembali bersama teman-temanku.

Keyra, penampilanmu tadi bagus banget!” puji Edriq. Aku tersipu malu.

Iya, tapi sayangnya... kayaknya kamu masih gugup, ya?” ujar Rufito.

“I.. iya, ya?” jawabku.

Namanya juga pertama kali. Tenang aja, Key, lain kali kamu pasti bisa lebih total!” kata Dafiz.

“Ha, ha, ha....ccc..” Iman berancang-ancang untuk bersin.

Ccciiiii...”

Aaaaaaaaaa.....!!” teriakku dan teman-teman sambil berlari tunggang lAdamng menjauhinya agar tidak melihat sesuatu yang biasa keluar setelah orang melakukan bersin.

Ketika kelas 5 SD...

Pak Dedi memanggil aku, dan dua adik kelasku, Ina dan Yessi ke ruangannya.

“Ada apa, Pak?” tanya kami serempak.

“Guru-guru di sini telah melihat potensi yang kalian miliki, yaitu menulis dan berpuisi. Maka, kalian bertiga kami tunjuk untuk mengikuti perlombaan menulis di Istana Presiden,” ujar Pak Dedi.

Ke istana presiden?” tanya Ina terperangah, ia melongo seakan tak percaya. Aku pun begitu.

Kita? Kita bertiga yang dipercayakan untuk bisa bertemu dengan Presiden Republik Indonesia, Pak SBY?” ulangku.

Iya, makanya kalian siap-siap. Latihan menulis surat untuk menghibur korban-korban tsunami di Aceh, dan bada Zuhur kita akan berangkat ke istana,” kata Pak Dedi kemudian.

Jantungku berdebar kencang. Aku senang bukan main karena aku mendapat kesempatan untuk bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Aku tidak bermimpi apa-apa tadi malam, aku pun tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi saat aku bertemu dengan Presiden RI keenam itu.

Keyra, berapa nomor telepon kantor ayah kamu? Bapak ingin memberi tahu hal ini dan meminta izin pada beliau agar kamu dibolehkan mengikuti perlombaan ini,” tanya Pak Dedi. Aku menuliskan nomor telepon itu di secarik kertas. Pak Dedi pun menyarAstiran aku, Ina, dan Yesi untuk mempersiapkan peralatan tulis dan merapikan seragam kami, kemudian beliau menghubungi ayah yang sedang bekerja di kantor.

Aku pun bergegas ke kelas dan mempersiapkan kertas HVS putih dan folio bergaris, pensil dan pulpen. Aku mengemas semua itu dengan terburu-buru saking panik dan excited nya. Kini, aku tinggal menunggu azan Zuhur berkumandang.

Ketika azan Zuhur selesai dikumandangkan, aku telah siap bersaing dengan beberapa anak dari seluruh Indonesia untuk memberikan surat terbaik kepada teman-teman di Aceh, Pak Dedi kembali menghampiri aku, Ina, dan Yesi yang sedang berkumpul di depan laboratorium komputer.

Bagaimana, Pak? Udah mau berangkat?” tanyaku semangat.

Bapak mohon maaf sekali, Keyra, Ina, Yesi. Ternyata, ada miss communication, sebenarnya sekolah kita tidak diundang di perlombaan itu,” ujar Pak Dedi, yant tentu membuat kami kecewa bukan main. Kejutan yang sebelum Zuhur tadi begitu membesarkan hati kami, dengan sekejap kini mengkerutkan perasaan kami yang telah berandai-andai bertemu dengan Pak SBY.

Bapak tahu, kalian pasti kecewa. Tapi insya Allah, kalau ada kesempatan lagi, kalian bisa ikut,” kata Pak Dedi.

Aku tak mampu berkata-kata. Begitu juga Ina dan Yesi. Kami semua pasrah dengan apa yang baru saja kami dengar. Aku pun kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran selanjutnya bersama teman-teman sambil sesekali membayangkan jika saat itu aku sedang duduk di istana negara, menulis surat untuk teman-teman yang menjadi korban tsunami di Aceh, diberikan pidato sambutan oleh Presiden RI periode 2004/2009 Indonesia. Tapi bayangan itu pupus dipantulkan cahaya matahari yang menyinari papan tulis bertuliskan rumus-rumus bangun ruang.